30 Des 2010

Logika dalam Agama = Kebenaran Spiritual ?!

Logika dalam Agama  = Kebenaran Spiritual ?!

Memahami kebenaran spiritual adalah dengan pengetahuan spiritual itu sendiri, sebelum kita lanjutkan pembahasan lebih lanjut coba kita simak pertanyaan  yang paling mendasar  tentang pengetahuan itu sendiri  karena bagaimanapun ini perlu.
Apa yang di maksud dengan punya pengetahuan?
Bagaimana kita mengetahui sesuatu itu?
Dari mana kita mengetahuinya?
Kenapa kita bisa yakin bahwa pengetahuan kita itu benar?
Apa saja yang dapat kita ketahui?
Bagaimanakah watak pengetahuan itu?
Apakah benar-benar ada dunia di luar fikiran kita ?
Dan,
kalau ada, dapatkah kita mengetahuinya?
Untuk menjawab atas pertanyaan-pertanyaan itulah yang dibahas oleh filsafat ilmu atau epistemologi. Epistemologi sendiri artinya ilmu (logos) tentang pengetahuan (epistem).
Filsafat ilmu ini adalah sangat penting dan perlu difahami sebelum kita menerima suatu kebenaran. Kita tentu yakin bahwa yang namanya kebenaran pasti bersifat absolut dan universal (umum).
Sebagai contoh adalah Agama misalnya, oleh manusia difahami  sebagai  suatu  kebenaran  mutlak. Tetapi  pada  faktanya: kenapa begitu banyak agama, yang antara satu dan yang lainnya malah ada didalam lingkaran yang bertentangan ? Kenapa tidak hanya satu saja, bukankah kebenaran itu bersifat absolut dan universal?  Bahkan dalam suatu agama yang sama masih juga timbul lagi friksi-friksi yang menimbulkan berbagai macam aliran dalam agama yang sama, yang masing-masing mengklaim diri sebagai pembawa risalah kebenaran sejati dan pewaris tunggal atas istana kerajaan sorga?
Lantas bagaimanakah kita dapat menerangkan friksi dan perbedaan seperti itu? Maka disinilah diperlukan dan pentingnya semua orang, terutama para pencari kebenaran, untuk mempelajari filsafat ilmu. Karena kebenaran itu sendiri nantinya ternyata sangat ditentukan oleh filsafat ilmu yang dianut oleh orang itu. Artinya, dengan objek amatan yang sama, tetapi karena filsafat ilmunya berbeda, maka ‘kebenaran’ yang diperolehnya juga bisa–bahkan kemungkinan besar–berbeda.
Islam, sebagai salah satu agama, tidak saja mengklaim diri sebagai kebenaran, tapi sekaligus menawarkan epistemologinya sendiri untuk sampai kepada kebenaran yang dimaksud. Bahkan tidak dapat dipungkiri bahwa hal ini akan dilakukan juga oleh agama-agama lain. Sehingga, sebenarnya atau sejatinya, sebelum sampai kepada kebenaran yang dipromosikan atau disampaikan  oleh masing-masing agama, maka sepatutnya epistemologi yang ditawarkan agama-agama tersebutlah yang terlebih dulu harus dicermati.
Bisa juga dikatakan bahwa mereka yang menganut suatu agama tertentu tanpa melewati prosedur epistemologi yang ditawarkan agama yang bersangkutan adalah orang-orang yang melakukan taklid buta. Taklid buta cenderung bersifat doktriner dan dogmatis.
Untuk memahami Epistemologi diperlukan kaidah-kaidah berfikir yang dinamakan logika yang memiliki subyek-subyek akal rasional. Tanpa menggunakan logika  dan tidak mempercayai akan kebenaran logika menjadikan Agama tidak akan pernah ada.
Coba kita renungi  sebuah contoh  ungkapan berikut: 
Ada sebuah ungkapan, terkenal dari tokoh besar di dunia Islam, Ibn Taimiyyah, yang arti harfiahnya “Barang siapa menggunakan logika maka ia telah kafir.”  demikian ungkapan tersebut. Apakah sikap seperti ini dapat dibenarkan?
Ataukah memang mutlak salah?
Apa implikasi jika sikap seperti ini dibenarkan?
Dan apa pula konsekuensinya jika ia mutlak salah?
Ataukah sikap seperti ini relatif, bisa benar sekaligus bisa salah secara bersamaan
Dan apa-kah konsekuensinya jika kebenaran sikap seperti ini relatif?
Seperti kita ketahui bahwa Logika adalah kaidah-kaidah berfikir. Subyeknya akal-akal rasional. Obyeknya adalah proposisi bahasa. Proposisi bahasa yang mencerminkan realitas, apakah itu realitas di alam nyata ataupun realitas di alam fikiran.
Kaidah-kaidah berfikir dalam logika bersifat niscaya atau mesti.
Penolakan terhadap kaidah berfikir ini adalah mustahil (tidak mungkin). Bahkan mustahil pula dalam semua khayalan atau “angan-angan” yang mungkin (all possible intelligebles).  
Contohnya, sesuatu apapun pasti sama dengan dirinya sendiri, dan tidak sama dengan yang bukan dirinya.
Prinsip berfikir ini telah tertanam secara niscaya sejak manusia lahir. Tertanam secara kodrati dan  spontan. Dan selalu hadir kapan saja fikiran digunakan. Dan ini harus selalu diterima kapan saja realitas apapun dipahami.  Bahkan, lebih jauh, prinsip ini sesungguhnya adalah satu dari watak niscaya seluruh yang maujud (the very property of being). Tidak mengakui prinsip ini, yang biasa disebut dengan prinsip non-kontradiksi, akan menghancurkan seluruh kebenaran dalam alam bahasa maupun dalam semua alam lain. Tidak menerimanya berarti meruntuhkan seluruh arsitektur bangunan agama, filsafat, sains dan teknologi, dan seluruh pengetahuan manusia. 
Maka sebagai contoh ungkapan dari ‘Ibn Taimiyyah’ di atas, jika misal pernyataan itu benar, maka menggunakan kaidah logika adalah salah. Karena menggunakan kaidah logika salah, maka prinsip non-kontradiksi salah. Kalau prinsip non-kontradiksi salah. Artinya seluruh kebenaran tiada bermakna, tidak bisa dibenarkan ataupun disalahkan, atau bisa dibenarkan dan disalahkan sekaligus.
Kalau seluruh keberadaan tidak bermakna, maka pernyataan itu sendiri “Barang siapa menggunakan logika maka ia telah kafir” juga naif. Tak bermakna. Tak juga perlu dipikirkan.
Menerima kebenaran pernyataan beliau tersebut sama saja dengan mengkafirkan beliau. Karena jika pernyataan tersebut benar, maka untuk membenarkannya telah digunakan kaidah logika. Dan karena beliau telah menggunakan kaidah logika, menurut pernyataan-nya sendiri beliau kafir.
Jadi sebaiknya pernyataan pengkafiran orang yang menggunakan logika ini benar-benar ditolak. Pernyataan ini salah. Dan sangat Salah. Dan mustahil benar. Karena kalau benar, semua orang yang berfikir benar kafir. Dan ini mustahil.
Dilihat dari segi pandangan umum, Islam jelas menentang adanya relativisme Kebenaran. Dalam Islam yang benar pasti benar dan tidak mungkin salah. Sedang yang salah pasti salah dan tak mungkin benar.
Dalam dunia dikenali adanya golongan relativis kebenaran yang disebut sufastaiyyah. Golongan relativis kebenaran ini merupakan pewaris mazhab pemikiran sophisme, yang bermula pada abad ke-5 dan ke-4 SM di Yunani melalui pemikiran Protagoras, Hippias, Prodicus, Giorgias dan lain-lain.
Beberapa pemikiran menyataakan bahwa Akidah Islam jelas menentang keras sikap golongan sufastaiyyah ini. Bagi golongan sufastaiyyah, benar itu bisa salah dan salah itu bisa benar. Bagi golongan shopisme Yunani, semua yang jelas-jelas ada ini dianggap tidak memiliki keberadaan. Jadi ada dan tiada sama saja. Bagi golongan positivis pasca- Renaisance, semua yang tidak bisa diukur tidak bisa ditentukan benar salahnya. Bagi pengikut Marx dan Hegel, kontradiksi bukan saja mungkin terjadi, tapi menjadi arah gerakan alam yang sering disebut sebagai dialektika Hegel. Bagi golongan relativis pasca-modern, yang mendasarkan pemikirannya pada permainan bahasa (language games) seperti diungkapkan Wittgenstein ataupun Russel setiap proposisi adalah bahasa, dan setiap bahasa nilai kebenarannya relatif, karena itu setiap kebenaran itu relatif.
Adapun sufastaiyyah, misalnya sama. Menghancurkan kaidah dasar logika. Yaitu prinsip non-kontradiksi. Hanya Protagoras meniadakannya dalam tingkatan ada-tidaknya segala sesuatu, para positivis meniadakannya pada tingkatan hal yang tidak bisa diindra, Marx dan Hegel meniadakannya sebagai watak umum segala yang maujud, dan Wittgenstein maupun Russel menghilangkan otoritas fikiran untuk menerapkan kaidahnya kepada alam di luar fikiran. Hasilnya sama. Runtuhnya seluruh bangunan pengetahuan manusia. Runtuhnya suatu bangunan keyakinan manusia. Bahkan keyakinan tentang adanya dirinya sendiri !
Ini mustahil !! dan Na’uudzubihi min dzaalik. 
Penerapan kaidah-kaidah berfikir yang benar telah menghantarkan para filosof (pecinta kebijaksanaan) besar pada keyakinan yang pasti akan keberadaan Tuhan. Socrates dengan The Most Beauty - nya. Plato dengan archetype -nya. Aristoteles dengan prime-mover-nya.. ‘Ibn Arabi dengan al-jam’u bainal-‘addaad (coincindentia in oppositorium) nya. Suhrawardi dengan Nur-i-qahir nya. Mulla Shadra dan Mulla Hadi Sabzavary dengan Al-Wujud Al-Muthlaq-nya.
Jelas-jelas penerapan logika bagi mereka tidak menentang agama. Malah sebaliknya, me-real-kan agama sampai ke seluruh pori-pori rohaninya yang mungkin. Atau dengan kata lain, mencapai hakikat.
Dalam dialog terakhir Socrates, digambarkan betapa figur filsuf ini mati tersenyum setelah menyebut nama Tuhan sebelum akhir hayatnya.
Tentang Aristoteles, sebuah riwayat menyatakan bahwa ia adalah seorang nabi yang didustakan ummatnya.
Tentang ‘Ibn ‘Arabi, tidak ada yang menyangsikan bahwa dia sebagai salah seorang sufi terbesar sepanjang sejarah dengan tak terhitung pengalaman ruhani yang tertulis di kurang lebih 700 kitabnya.
Sedang Mulla Shadra, tujuh kali haji ke Mekkah dengan berjalan dari Qum (
Iran) hanya untuk memenuhi panggilan kekasih-Nya.
Alih-alih logika menentang agama, malah logika adalah kendaraan “super-executive” untuk mencapai hakikat kebenaran spiritual. Dan sekali lagi alih-alih logika menentang agama, tanpa logika agama tak-kan dapat terpahami.
Jadi apakah  Logika dalam Agama = kebenaran spiritual ?!
Wallohu a’lam  
maturnuwun

Tidak ada komentar:

Posting Komentar